Agustus 8, 2007 oleh ichsanmufti
Sebaik apa pun seorang manusia itu dipandang oleh manusia lainnya ia tak ‘kan pernah menjadi malaikat, apalagi sosok yang patut disembah. Karena dalam dirinya, bukan cuma ada nalar dan nurani, di sana juga ada naluri. Dalam dirinya, bukan Cuma ada akal dan iman, namun juga ada syahwat. Sungguh, bukan cuma kekuatan dan kebijakasanaan yang ada di sana, namun juga kelemahan dan ketergelinciran serta berbagai keterbatasan. Ia tak ‘kan jadi sempurna dalam pengertiannya yang tanpa celah. Ia hanya jadi sempurna secara relatif sebagai manusia. Itulah batas akhirnya. Dan hidup, bagi mereka yang bijak, adalah perjalanan menuju ke sana. Tak ‘kan ada titik. Yang ada hanya koma, sampai kematian menutup perjalanan itu.
Ketika sedang duduk sendiri menghirup segarnya udara pagi, atau ketika berjalan kala senja menyaksikan bunga-bunga yang tengah mekar di pinggir rumah, atau ketika kita tenggelam dalam samudera perenungan dan instrospeksi menjelang tidur, kita sering tersenyum sendiri menatap masa lalu. Tak jarang, tawa kecil kita meledak dalam sunyi-gelapnya malam. Kala itu kita geli sendiri, malu pada waktu, pada manusia, pada Allah, karena dahulu kita pernah keliru, kita pernah salah bersikap, berkata-kata, kita…. pernah “tak merasa kita salah”. Tawa yang kadang beriring rintih tangis pengakuan. Dan setelah itu seakan ada yang berbisik genit ke telinga kesadaran kita: “Bodoh sekali kau dulu itu!”, katanya.
Lanjut Baca »